Bandung, sebelas12.com – Berbagai upaya terus dilakukan Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung untuk mengatasi overloadnya Tempat Pembuangan Sampah Akhir (TPA) Sarimukti, dengan melibatkan seluruh organisasi perangkat daerah (OPD) hingga tingkat kewilayahan.
Namun hal ini menjadi persoalan bagi para Ketua Rukun Warga (RW) yang harus mempertanggungjawabkan keuangan yang dipungut dari masyarakat untuk operasional petugas pemungut sampah di wilayahnya.
“Kami kerap mendapat protes dari warga ketika petugas kami telat melakukan pengambilan. Padahal persoalannya ketika petugas sampai di tempat pembuangan sampah sementara (TPS) tidak diijinkan membuang, karena adanya keterlambatan armada. Kalaupun ada armadanya sudah terisi sampah yang diangkutnya dari tempat lain. Sehingga petugas kami terpaksa harus menunggu beberapa hari,” ungkap salah seorang ketua RW yang tidak mau disebutkan namanya, Selasa 5 November 2024.
Diakuinya, kalau selama ini dalam setiap bulannya menyetor uang iuran sebesar Rp600.000,- ke Dinas Lingkungan Hidup dan Kebersihan (DLHK) Kota Bandung. Jadi kalau ada keterlambatan pengangkutan, pihaknya harus mengeluarkan kocek kembali Rp50.000,- ke sopir dumptruk agar bisa diangkut.
“Warga mah gak mau tahu yang penting sampahnya diangkut karena sudah merasa bayar. Jadi kalau terjadi keterlambatan pengangkutan kami ini yang kena getahnya diprotes warga. Padahal secara rutin dalam setiap bulannya kita bayar Rp600.000,-. Itupun besarannya tergantung dari strata ekonomi masyarakatnya, Jika rata-rata ekonominya mampu ada yang sampai 1 juta Rupiah. Jadi kalau kita kalikan 1.597 RW se-Kota Bandung sudah berapa dan kemana larinya?. Belum lagi dana dari APBD. Buktinya kan sampah selalu menjadi persoalan,” ungkapnya.
“Memang akhirnya bisa diangkut, tapi kami harus mengeluarkan lagi biaya angkut Rp50.000,-/kubik kepada sopir pengangkut. Kan double biaya,” keluhnya.
Lebih lanjut ia mengungkapkan, untuk setiap kelurahan, DLHK Kota Bandung belakangan memberikan bantuan alat untuk pencacah sampah yang ditempatkan di RW yang mempunyai lahan. Namun kapasitasnya sangat terbatas, bahkan ketika dipakai ada yang macet. Padahal target untuk setiap RW itu mampu mengurangi volume dan ritasi hingga 30 persen.
“Memang ada bantuan alat pencacah, namun kapasitasnya sangat terbatas. Jadi kalau boleh saya usul, DLHK menyediakan mesin inseneratos yang cukup memadai jangan yang asal-asalan,” pintanya. (*Red)