Bandung, sebelas12.com – PT. Titisan Pusaka Sakti menggugat Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Badung Provinsi Bali, dan Amir Rasidin Datuk Basa dkk.
Oleh karena itu, Hakim Mahkamah Agung (MA) diharapkan bisa bersikap objektif dalam menelaah berkas perkara kasasi yang diajukan perusahaan tersebut.
Dari persidangan tingkat pertama, Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara Denpasar Nomor: 20/G/2019/PTUN.DPS tanggal 28 Juili 2020 menyatakan menolak gugatan dari pemohon.
Kemudian di tingkat banding, Putusan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara Nomor: 192/B/2020/PT.TUN.SBY tanggal 7 Desember 2020 menguatkan putusan tingkat pertama.
Atas kedua putusan itu, PT Titisan Pusaka Sakti pun mengajukan kasasi dan saat ini masih berproses di MA.
Gugatan tersebut bermula dari adanya tindakan faktual pemerintah berupa penetapan pengembalian batas dengan pemasangan patok batas terhadap Sertifikat Hak Milik No.949 atas nama Amir Rasidin Datuk Basa, B.sc dkk di Kel. Seminyak, Kec. Kuta Kab. Badung Provinsi Bali.
Proses tersebut dilakukan oleh Kepala Kantor Pertanahan Kabupaten Bandung Provinsi Bali tanggal 16 September 2019. Namun PT Titisan Pusaka Sakti merasa ada kejanggalan dalam pelaksanaan pengembalian batas.
Singkat cerita setelah gugatan masuk ke pengadilan, dalam perjalanan persidangan, pihak penggugat merasa ada pertimbangan hukum yang tidak adil.
Kuasa hukum penggugat, Albert K Purba, SH dari Kantor Hukum Albert Purba, SH & Rekan melihat, Majelis Hakim TUN Denpasar dalam memberikan pertimbangannya ada kejanggalan.
Menurut dia, pertimbangan majelis bertolak belakang satu dengan lainnya. Ia menyoroti Pertimbangan Hukum halaman 162 alinea Pertama Putusan Pengadilan TUN Denpasar.
Pertimbangan tersebut, kata Albert, mengandung dua unsur yang bertentangan yaitu (Unsur Pertama) “menimbang……. yang berubah hanya bentuk bidang tanah yang dikembalikan sesuai dengan batas batas pada sertifikat……….. .(Unsur Kedua) pengukuran pengembalian bentuk batasnya kembali disesuaikan dengan bentuk bidang tanah pada sertifikat Penyanding yaitu Sertifikat Hak milik No.1725/Desa Kuta.”
“ Unsur Pertama dan Unsur Kedua tersebut bertentangan satu sisi menyatakan harus sesaui batas sertifikat masing masing, disisi lain disesuaikan dengan batas sertifikat penyanding.
Padahal kemudian pengembalian batas harus sesuai dengan batas sertifikat masing masing juga ditegaskan kembali dalam Pertimbangan Hukum Halaman 163 kalimat pertama putusan yang berbunyi “Menimbang …………..serta memperhatikan batas batas bidang tanah yang telah terdaftar dan surat ukur atau gambar situasi yang bersangkutan.”
Pada akhirnya pertimbangan yang bertentangan tersebut mengakibatkan diakuinya batas SHM No.949 yang tidak sesuai dengan gambar ukur di sertifikat no.949/ Surat Ukur tanggal 06-05-2009 Nomor 00726/Seminyak 2009 yang sudah ada” terang Albert.
Padahal bila dilihat pada Bukti P.29 berupa Sertifikat Hak Milik (SHM) No.1725/Desa Kuta, Gambar situasi No.3710/1985 tanggal 27 Desember 1985 berbentuk ada legokan dan Bukti T.II.Int.1 berupa sertifikat Hak milik 949/kelurahan Seminyak tanggal 18 Mei 2009, Surat Ukur No.00726/seminyak/2009 tanggal 6 Mei 2009 berbentuk lurus menyerupai persegi panjang,, sudah memiliki batas batas yang sudah ditentukan.
“Faktanya Batas sertifikat SHM No.949 sangat terlihat jelas bahwa batas sebelah selatan tertulis Gang Melasti II bukan Jalan Arjuna,” kata dia.
Berdasarkan Surat Lurah Seminyak No.96/VIII/Kel.Seminyak tanggal 14 Agustus 2018, Albert menyatakan, diwilayah kelurahan seminyak hanya terdapat Gg. Melasti, yang terletak diantara Hotel Puri Saron Hotel Indigo Seminyak, yang merupakan penghubung antara Jalan Campiang Tanduk dan Genah Melasti Desa Adat Seminyak.
Lebih lanjut Albert juga mengomentari soal pertimbangan halaman 166 alinea pertama dan 168 alinea pertama Putusan TUN Denpasar Menurutnya, pertimbangan itu saling menyanggah, halaman 166 majelis hakim mengakui “..penetapan pengembalian batas bidang tanah kurang dari 10 (sepuluh) hari ” namun kemudian pada halaman 168 majelis hakim menyatakan “ ….sudah sesuai dan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan”
“Melihat hal-hal itu, kami menilai pertimbangan hukum Pengadilan TUN Denpasar mengaburkan fakta fakta yang nyata dan mengaburkan arti kepastian hukum,” pungkasnya. (*Red)