Bandung, Sebelas12 – Berangkat dari sebuah anggapan yang mengatakan jika generasi milenial diprediksi akan sulit memiliki rumah dalam beberapa tahun ke depan.
Padahal, generasi milenial atau manusia yang lahir antara tahun 1981 hingga 1996 kini tengah mendominasi jumlah penduduk Indonesia dengan proporsi 34%.
Alasannya, karena kenaikan harga properti dinilai tidak sebanding dengan pertumbuhan gaji rata-rata generasi milenial di Indonesia. Selama kurun waktu lima tahun masa bekerja, rata-rata gaji pegawai di Indonesia hanya mengalami kenaikan sebesar 10%. Sementara pertumbuhan harga properti rumah mengalami kenaikan hingga mencapai 17%.
Berdasarkan house price to annual income ratio, harga rumah yang dibeli sebaiknya maksimal tiga kali lebih besar dari total penghasilan selama satu tahun. Rata-rata harga rumah di beberapa kota di Indonesia berkisar di angka Rp400 juta.
Artinya, penghasilan ideal yang harus didapat selama satu tahun untuk membeli rumah dengan harga tersebut berkisar di angka Rp135 juta atau berarti sekitar Rp11 juta sebulan. Sementara, sebagian besar milenial tidak memiliki penghasilan sebesar itu.
Anggapan tersebut semakin diperkuat dengan hasil survei dari Rumah 123 yang mencatat bahwa di tahun 2020 diprediksi hanya 5% generasi milenial Indonesia yang sanggup membeli rumah. Apalagi tingginya permintaan akan kebutuhan rumah justru semakin memberikan jurang karena harga tanah turut meningkat.
“Permintaan meningkat tapi pendapatan tidak sebanding dengan kecepatan pertumbuhan harga rumah. Akibatnya kemungkinan besar daya beli masyarakat semakin lama semakin menurun,” ujar pengamat perkotaan Universitas Katholik Parahyangan Ishak Somantri.
Faktor lainnya, ketersediaan tanah kosong di Indonesia dianggap tidak setara dengan jumlah penduduk yang mencapai angka 260 juta jiwa. Apalagi, Indonesia diprediksi akan mengalami bonus demografi pada tahun 2030 mendatang.
Dari total wilayah Indonesia, hanya tersedia sekitar 34% tanah kosong. Namun 67% di antaranya adalah hutan yang tidak dapat ditempati. Artinya hanya 33% lahan tanah yang dapat ditempati sebagai area pemukiman. Terlebih angka tersebut terbagi dan mayoritas berada di daerah terpencil, bukan di kota besar seperti Bandung dan Jakarta.
Terlepas dari ketersediaan tanah atau tidak, masalah utama generasi milenial terkait kepemilikan rumah tetap berada pada faktor finansial. Uang muka dan bunga tinggi menjadi batu pengganjal yang besar. Terlebih, gaya hidup milenial dekat dengan leisure dan traveling yang membuatnya semakin sulit menabung untuk memiliki rumah.
Fenomena tersebut yang kemudian ditangkap serius oleh bank bjb. Sesuai tagline Membangun Indonesia Memahami Negeri, bank bjb berupaya memberikan kemudahan terkait kepemilikan rumah bagi generasi milenial dengan menawarkan tingkat suku bunga yang kompetitif.
Tingkat suku bunga Kredit Pemilikan Rumah (KPR) bank bjb berada di angka 8,99% Fix selama dua tahun, kemudian Cap 12% Tahun ke-3 dan ke-4, selanjutnya mengikuti bunga pasar. Hal tersebut menjadi salah satu keunggulan dari KPR bank bjb. Terlebih bank bjb memiliki segmentasi yang jelas yakni kelas menengah dengan rata-rata kredit dibawah Rp1 miliar per unit rumah.
bank bjb memang fokus menggarap pasar retail dengan segmentasi menengah. Alasannya karena pasar retail memiliki tingkat risiko yang lebih rendah. Terlebih, masih banyak pangsa pasar retail yang hingga kini belum tergarap.
“Retail memiliki pangsa pasar yang banyak dengan tingkat risiko rendah. Penyaluran KPR bank bjb secara keseluruhan rata-rata berada di kisaran Rp250.000.000 per unit,” ujar Pemimpin Divisi KPR dan KKB bank bjb, Agus Kurniawan beberapa waktu lalu.
Selain itu, bank bjb juga turut menyalurkan Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Rumah (FLPP). Pada tahun 2018 bank bjb menargetkan penyaluran rumah FLPP sebanyak 1.000 unit dengan jumlah KPR FLPP yang dapat dieksekusi mencapai Rp 123 milyar.
Beberapa kerja sama strategis juga rajin dilakukan bank bjb, salah satu dengan Sarana Multigriya Finansial atau SMF yang memberikan pembiayaan bagi penyaluran KPR sebesar Rp1,5 triliun. Kerja sama tersebut merupakan fasilitas kedua setelah sebelumnya SMF menyalurkan Rp200 miliar pada Desember 2017.
Hal tersebut semata-mata dilakukan sebagai bentuk pengabdian bank bjb dalam rangka memenuhi kebutuhan pembiayaan rumah di Indonesia dengan cara membuka dan memperluas akses kepada generasi muda untuk memiliki hunian yang layak.
Adapun untuk proses pengajuan KPR bank bjb terbilang sangat mudah dan cepat. Debitur hanya perlu mendatangi kantor cabang bank bjb terdekat dan melengkapi sejumlah dokumen persyaratan, seperti salinan KTP, Kartu Keluarga, Nomor Pokok Wajib Pajak, dan lainnya. Untuk plafond dimulai dari Rp25 juta sampai Rp40 miliar.
Untuk persyaratan debitur di antaranya berusia minimal 21 tahun atau telah menikah dan bekerja sebagai pegawai dengan masa tenor sampai dengan 1 tahun sebelum pensiun. Sementara untuk wirausaha minimal dua tahun menjalani bidang usaha yang sama dan berusia 65 tahun saat kredit lunas.
Optimisme bank bjb dengan menggarap segmen KPR tentu memiliki beragam alasan. Salah satunya adalah data Bank Indonesia yang mencatat bahwa kredit konsumer hadir sebagai captive market industri perbankan dalam meningkatkan pertumbuhan bisnis. Pada Juni 2018, pertumbuhan kredit konsumer secara nasional meningkat sebesar 10,6% year on year menjadi Rp1.444 triliun.
Berdasarkan jenisnya, KPR mengalami pertumbuhan paling tinggi dengan 13,5% year on year menjadi Rp433,7 triliun. Sementara target bisnis bank bjb di segmen KPR pada tahun 2018 tumbuh sebesar 15,5%. Penyaluran KPR bank bjb sendiri terus meningkat di setiap tahunnya. Rata-rata kenaikan tumbuh 10% dari capaian di tahun sebelumnya.
“Pada tahun 2018, bank bjb menargetkan penyaluran KPR sebesar Rp2 triliun. Pada tahun sebelumnya Target dari manajemen telah tercapai 101% dengan eksekusi sebesar Rp1.8 triliun di seluruh Indonesia,” ujar Agus Kurniawan. (*Red)