Home Bandung Raya Osin Permana: Pemilu Proporsional Tertutup, Demokrasi Kita Mundur

Osin Permana: Pemilu Proporsional Tertutup, Demokrasi Kita Mundur

by Admin
Osin Permana: Pemilu Proporsional Tertutup, Demokrasi Kita Mundur

Kabupaten Bandung, sebelas12.com – Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 masih hitungan bulan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga penyelenggara Pemilu, masih melakukan tahapan-tahapannya.

Namun di tengah persiapan menyelenggarakan pesta demokrasi, muncul keinginan agar sistem Pemilu dirubah dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.

Ajuan perubahan sistem pemilu itu, saat ini tengah digodog di Mahkamah Konstitusi (MK) yang entah kapan akan diputuskan.

Hanya jika putusan MK Pemilu 2024 dilaksanakan dengan sistem proporsional tertutup, berarti demokrasi kita kembali ke masa lalu alias mundur.

Karena dengan sistem itu, masyarakat akan memilih wakilnya yang duduk di parlemen seperti membeli kucing dalam karung, tidak mengenalnya dan tak diketahui track record atau rekam jejaknya.

Selain itu, merubah sistem berarti merubah undang-undang dan itu makan waktu, dampaknya Pemilu yang sedianya dilaksanakan tahun depan akan mundur menunggu aturan baru selesai.

Penundaan Pemilu itu juga bertentangan dengan UUD 45, terutama Pasal 22 E Ayat 6 yang menegaskan Pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali.

Dampak lain, dari perubahan sistem Pemilu, hasil kerja KPU saat ini kemungkinan bisa dikatakan cacat hukum, sebab aturan yang menjadi acuannya pun berubah.

”Jika putusan MK sistem Pemilu menjadi proporsional tertutup, undang – undangnya harus diganti dan itu akan makan waktu,” jelas Ketua Fraksi Demokrat, DPRD Osin Permana di Soreang, Kamis, 9 Maret 2023.

Sebenarnya yang menginginkan sistem Pemilu dirubah dari proporsional terbuka ke tertutup hanya satu fraksi, yakni Fraksi PDI Perjuangan. Sementara 8 fraksi lainnya, termasuk Fraksi Demokrat bertahan di sistem proporsional terbuka.

Jika melihat kondisi yang ada, ternyata mayoritas fraksi di DPR RI menolak sistem proporsional tertutup, kondisi itu sebaiknya menjadi pertimbangan buat MK dalam mengambil keputusan.

Selain itu, psikologis masyarakat harus diperhatikan. MK sebaiknya tidak mementingkan keinginan sekelompok, yang berniat merubah tatanan demokrasi, dengan menunda pelaksanaan Pemilu dan ingin menambah jabatan Presiden menjadi 3 periode.

“Jika MK memutuskan proporsional tertutup, otomatis Pemilu akan ditunda dan itu preseden buruk untuk lembaga hukum itu,” ujar Osin.

“Jika ada Intervensi MK harus bisa menjaga marwahnya, menjaga demokrasi yang sedang berlangsung,” imbuhnya.

Dalam memberikan putusan, sebaiknya MK mempertimbangkan segala aspek, termasuk dampaknya. Sebab jika keinginan merubah sistem Pemilu dikabulkan, secara tidak langsung MK sudah menghancurkan demokrasi serta melanggengkan oligarki.

Selain itu, dalam perspektif hukum tata negara putusan MK bisa memberi dampak perubahan luas pada sistem ketatanegaraan kita. Serta kedaulatan rakyat menurut UUD akan mengalami deviasi.

“Hal ini kerap kita diskusikan dengan berbagai kalangan, termasuk dosen-dosen di perguruan tinggi,” ungkapnya.

Osin berharap, Pemilu 2024 bisa terlaksana sesuai rencana, dan putusan MK lebih mementingkan keinginan publik, bukan perorangan atau kelompok yang berniat melanggengkan oligarki. (*Red)

Related Posts

Leave a Comment